Download

Rabu, 04 Mei 2016

Bukan desas-desus lagi, memang para wali terpercaya menjadi dua kelompok. Masing-masing memegang pendapatnya sendiri tentang cara menyebarkan Islam kepada masyarakat Jawa. Kelompok pertama dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatikta, adipati Majapahit di Tuban. Ia didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Mereka disebut kaum Abangan atau dikenal dengan aliran Tuban. Lawannya adalah kaum Putihan yang diketahui oleh Sunan Giri. Yang menopangnya adalah Sunan Ampel dan Sunan Drajat.
Lukisan Wayang Kulit
Masalah cukup menegangkan. Sunan Giri dan kelompoknya tidak menyukai siasat dakwah yang di jalankan oleh Sunan Kalijaga. Mereka menganggap kaum Abangan terlalu lunak menghadapi kepercayaan Hindu dan Budha yang masih mengendap dalam keimanan masyarakat luas. Mengenai hal ini, Sunan Giri menginginkan cara yang lebih tegas tanpa basa-basi. Islam harus diteggakan seperti aslinya. Adat istiadat lama harus dibuang. Peninggalan syirik wajib dihapus sama sekali. Hukum syariat mesti dilaksanakan dengan sepatutnya. Pedomannya tidak ada lain, Kitabullah Alquran dan Sunnah Rasulullah. Kejawen supaya ditindas sampai ludas secepatnya agar di kemudian hari tidak mengakibatkan keracunan dan kekisruhan akidah. Siapa yang mau menjadi Islam, Islmlah yang sempurna, yang tuntas. Siapa yang tidak suka, tidak usah dihiraukan lagi. Toh agama sudah menetapkan, mau beriman atau mau kafir, telah di bentangkan persoalannya dengan gamblang.
 
Namun, perpecahan itu hanya terbatas ke dalam, tidak merembet ke tengah-tengah rakyat secara terbuka. Itulah yang membuat para wali masih tetap bersatu dan saling membantu hingga penyiaran ajaran Nabi Muhammad makin berkembang dari hari ke hari.

 Sunan Kalijaga berpikir lebih jauh dengan membandingkan cara-cara yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad semasa mendakwahkan risalahnya kepada masyarakat jahiliyah yang masih tersesat. Beliau dengan santun menanamkan akidah tauhid melalui cara dakwah yang bijak dan bertahap. Dibiarkannya dahulu orang-orang Badwi membayangkan Tuhan menurut pikiran mereka yang sederhana. Setelah belasan tahun, barulah keesaan Allah ditampilkan dengan lugas dan murni. Bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya.

Menurut kaum Abangan, adat lama yang bisa dikawinkan dengan agama, tidak perlu ditentang. Adat asli dibiarkan berjalan, tetapi isinya yang berlawanan dengan Islam diubah pelan-pelan. Cara ini dinamakan Tut Wuri Hangiseni.

Puncak perpecahan itu tampak menyolok pada waktu mereka membangun Masjid Agung Demak. Para santri masing-masing kelompok saling bersaing dengan membawa pendiriannya yang bertentangan sehingga, jika santri-santri kaum Putihan sudah memasang salah satu perabot, para santri aliran Abangan berusaha menghalang-halangi. Tujuannya agar mereka biar menguasainya atau bisa menyatakan bahwa Masjid Demak adalah bikinan mereka. Akibatnya, masjid besar itu tidak dapat berdiri dengan kokoh. Bangunannya masih rapuh, dan nyaris akan roboh.

Sunan Kalijaga cepat bertindak. Ia mengumpulkan tatal, serpihan-serpihan kayu dari kedua belah pihak, lalu disusunnya menjadi tiang penyangga pokok yang dinamakan soko guru.Untuk mengikatnya lebih kuat, Sunan Kalijaga meminta semua wali dari kedua aliran itu buat bekerja sama dalam suasana gotong-royong dan persaudaraan yang akrab. Hasilnya sangat menakjubkan. Soko guru yang terbuat dari susunan tatal atau pecahan kayu kecil-kecil itu bisa menegakkan bangunan masjid dengan sempurna dan menjadi simbol persatuan yang erat. Berpadu dalam berbeda, itulah yang diharapkan, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad bahwa perbedaan pendapat para pemimpin umat adalah rahmat bagi segenap umat.

Kini, setelah masjid berdiri dengan megah, timbul persoalan kembali. Yaitu mengenai upacara pembukaannya. Kelompok Sunan Giri menyatakan, peresmian masjid harus dilakukan dengan salat jamaah beramai-ramai, khusus untuk umat yang sudah menjalankan ibadah saja. Kelompok Sunan Kalijaga menetapkan upacara yang berbeda. Akan diadakan pergelaran wayang kulit di halaman masjid.

Sunan Giri dan kelompoknya menolak keras. Wayang kulit, yang menggambarkan sosok-sosok manusia adalah haram. Untuk itu Sunan Kalijaga tidak kehabisan akal. Ia membuat tokoh-tokoh pewayangan dalam bentuk yang serba ganjil. Tantangannya panjang-panjang, mukanya pipih, dan hidungnya tidak wajar. Ia mengemukakan dalih, bentuk-bentuk seperti itu jelas bukan sosok manusia. Jadi tidak haram.

Akhirnya diadakan kesepakatan. Upacara peresmian didahului dengan salat jamaah bagi umat Islam yang sudah sempurna menjalankan ibadah. Barulah sesudah itu dipukul gong dan ditabuh gamelan guna memanggil seluruh masyarakat tanpa membeda-bedakan kepercayaan serta agama mereka, agar berduyun-duyun memasuki halaman masjid. Mereka berdatangan harus melewati pintu gerbang yang disebut gapura, berasal dari sifat Tuhan yang ghafura, maha pengampun. Di halaman masjid itulah dipergelarkan pertunjukan wayang kulit yang berisi dakwah. Dalangnya adalah Sunan Kalijaga sendiri.

Maka semua orang menjadi lega dan bersukacita. Persatuan kembali terbuhul. Lalu, untuk mengenang Sunan Giri yang telah diangkat sebagai mufti Tanah Jawa, ke dalam tokoh wayang Batara Guru dijelmakan Sang Hyang Girinata. Artinya, Sunan Girilah yang menata pengukiran wayang itu batas-batas mana yang boleh dan yang tidak boleh, agar tidak melanggar syariat lagi, sampai terwujudlah wayang kulit Islam.



Sumber        : 30 Kisah Teladan Jilid 9  
Pengarang    : K. H. Abdurrahman Arroisi   

01.13   Posted by Andhika Budi with No comments

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search